Posted by : Annisa Nur PS Minggu, 06 November 2016

Sebelumnya, perkenalkan aku dengan sebutan A dan seseorang disampingku dengan sebutan N. Kami bertemu di pelataran toko yang hendak mencari kehangatan jiwa. Aku asli penduduk kota S  yang ingin merasakan hidup diluar rumah. Sedangkan N, berasal dari pedesaan yang ingin merasakan hidup di kota metropolitan.

A : *sedang berkhayal*
N : "Sudahlah N, cukupkan dirimu atas bayang-bayang yang tiada guna itu."
A : "Aku berusaha menghilangkan dari otak, namun kotoran itu terus menempel dalam diri."
N : "Kau membuang waktumu dengan hal bodoh."
A : "Ini bukan hal bodoh."
N : "Dari mana kamu tahu itu bukanlah hal bodoh?"
A : "Lalu darimana pula kau paham bahwa itu hal bodoh?"
N : "Kau cerdas, namun kau lemah."
A : "Sudahlah..."

Aku dan N diam selama 8 menit 45 detik. Aku memperhatikan N yang sedang berkomat-kamit mengatakan banyak hal. Aku berkali-kali berusaha memahami apa yang diucapkan, namun tak bisa memecahkan aktivitas apa itu.

N : "Kenapa kau memperhatikanku seperti itu?"
A : "Tidak, aku hanya melihat kearah sana." *sambil menunjuk ke arah pohon besar*
N : "Hmm, tak peduli."
A : "Kenapa ya ketika aku mencintai sesuatu, justru tak tahu apakah aku akan meraihnya? Kenapa ya setiap kali aku berharap, kemungkinan pencapaian itu sangat minim? Kenapa ya ... Kenapa ya ... *hingga 20 kali pertanyaaan*
N : *masih berkomat-kamit*
A : *mulai mengantuk*
N : " Mengapa kau menanyakan hal yang dirimu sendiri bahkan tidak tahu kelanjutan hal itu?"
A : *mengerutkan dahi*
N : "Apa kau tak malu dengan perkataanmu tadi, ketika semua baik-baik saja?"
A : *bertanya dalam diri* "Bodoh memang..."
N : "Bodoh memang."

N mengakhiri aktivitas komat-kamitnya dengan mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh muka. Aku melihat hidupnya seakan berjalan bak air yang tenang , namun mendalam dan memiliki banyak makna. Berkaca pada diriku yang masih memerlukan dampingan dalam setiap gerakku. Mencoba belajar kebaikan kecil yang dilakukan oleh temanku, N.

N : "Aku tak tahu seberapa kuatnya aku menanggung beban hidup dalam keseharianku. Aku sadar, aku membutuhkan banyak raga menyentilku masuk dalam lubang penuh perjuangan. Meratapi hal yang tak seharusnya terjadi, bukanlah solusi untuk keberlanjutan yang lebih baik."
A : "Hmm, menarik." *dengan wajah tak peduli* 
N : "Kau hanya bisa berusaha, berdoa, menyerahkan segala usaha, ikhlas, sabar, dan tak berprasangka buruk pada-Nya, Yang Memberikan Nafas dan Mengatur Kehidupan kita."
A : "Aku menyadari aku salah dalam berprasangka."
N : "Lantas mengapa masih kau lakukan?"
A : "Aku hanya ingin baik sangka atas apa yang telah kulakukan selama ini."
N : "Hentikan hal itu. Kau berlebihan dalam menyampaikan sangka, kau membuat susah hidupmu, kau ratapi sendiri, hingga kau tak memiliki acuan dalam berbuat selanjutnya."

Seketika aku sakit kepala dan muntah.

N : "Kau kenapa?"
A : "Sampai kapan aku begini...?" *sembari batuk dan tak kuat untuk berjalan, pergi ke tempat yang memiliki cahaya terang lagi tenang.

Pada-Mu aku berserah diri...

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

- Copyright © Mampukah kita melintasi dahsyatnya badai kehidupan? - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -