Posted by : Annisa Nur PS Kamis, 25 Agustus 2016



“Alhamdulillah.” batinku
Malam dingin menyelimutiku bersama calon penghuni surga. Kami sejenak terdiam saat salah satu diantara kami berbicara dengan sangat mendalami. Aku tak bisa berkutik sedikitpun. Hanya diam dan bergerak sedikit saja. Kau tau apa yang kurasakan? Antara ingin menangis dan tak ingin menangis. Aku tak semudah itu untuk mengeluarkan air mata. Bukan berarti aku tak memiliki perasaan, namun inilah caraku untuk merasakan apa yang kau rasakan.

Sejak kecil aku jarang menangis. Sekalipun ada yang harus ditangisi, aku hanya menatap langit-langit. Membayangkan atas apa yang terjadi. Melihat kekosongan yang ada di depanku. Merenung dengan sangat kuat, hingga tak tahan lagi untuk duduk dengan tegap.

Kembali lagi dengan cerita saudaraku. Sebut saja Mutiara. Ia berasal dari kota yang jauh di seberang sana. Jauh dari kehidupan metropolis. Kau tahu? Ia sedang tidak baik-baik saja ternyata. Ia menyimpan segalanya dengan sendirinya. Tak tahu lagi mengapa hal itu bisa terjadi. Seakan-akan ia yang tersiksa sendiri dan akan terus tersiksa.

“Hah? Sampai segitunya?” batinku lagi.

Aku yang dulu dimanja, membayangkan Mutiara yang sedang berjuang, seakan hidup itu tak adil. Aku bahagia, namun saudaraku tersakiti. Aku yang dahulu menolak tak ingin dicium dan dipeluk, ternyata Mutiara menginginkannya. Setiap keinginanku selalu dikabulkan dan aku masih hidup datar-datar saja. Ini yang namanya bersyukur?

Termenung kembali saat membayangkan bencana alam yang Allah berikan untuk Mutiara. Ternyata Allah masih sayang sama dia. Mutiara masih sehat dan bisa tersenyum padaku. Entahlah, jikalau senyumnya menyimpan hal-hal aneh. Aku percaya ia tersenyum bahagia, bukan senyuman kesedihan.
Ku bersandar di dinding yang sama dinginnya dengan hatiku. Aku marah pada diriku yang tak bisa menangis disaat sekitarku mulai meneteskan air mata. Hatiku kenapa? Terbuat dari apa? Hingga ku memutuskan untuk berpikir sejenak, mengapa ini bisa terjadi?

Tak perlu mempermasalahkan hal itu.

Permasalaan sekarang, bagaimana aku harus memberikan ketenangan terhadap Mutiara atas konflik jiwa yang ia rasakan. Aku mengatakan konflik, karena hal itu sangatlah kompleks, antara ‘ingin’ dan ‘tidak ingin’, sehingga ia memikirkan berulang-ulang kali untuk berbuat. Keadaan ini tak bisa dibiarkan saja. Aku bisa apa, dan itu yang harus ku lakukan. Aku tak memeluknya, karena aku tak tahu bagaimana cara memeluk dengan penuh kehangatan. Lalu ku biarkan ia yang memelukku, hingga ia merasakan kehangatannya sendiri. Setidaknya aku menyalurka energi untuknya yang membuat Mutiara semakin yakin akan mimpinya nanti.

Akhirnya, aku harus berucap hamdalah. Menangis saja tidak cukup. Kuat dan sabar kunci menjalani hidup. Menangislah kau, disaat kau butuh membuang air mata itu. Jika kau tak butuh untuk membuangnya, maka simpanlah air mata itu untuk tangisan kebahagiaan. Bahagia atas kesuksesan yang kau raih. Itu yang aku dapat dari kejadian malam ini. 

Seorang yang butuh pelukan hangat,

asinsekali

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

- Copyright © Mampukah kita melintasi dahsyatnya badai kehidupan? - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -