Posted by : Annisa Nur PS Selasa, 16 Agustus 2016



Pagi buta biasanya dingin menyelimuti. Berbeda dengan hari ini, panas matahari membakar seluruh tubuhku hingga semangat yang ada dalam diri. Aku merasa sedih karena telah meninggalkan Jakarta dan Depok yang menyediakan beribu pengalaman dan fasilitas-fasilitas mulai dari makan, tempat tinggal, ilmu, dan lain-lain. Sahabat yang baru kutemui, dari berbagai penjuru Indonesia, kini kembali ke tempat perjuangannya masing-masing. Berjumlah 270 orang dengan latar belakang yang berbeda, membuat kami memahami tentang sikap apa yang harus kami berikan saat bercengkerama.

Aku tiba di Jogjakarta bersama 60 laskar Nakula-Srikandi. Kereta yang kami kendarai selama 8 jam telah hilang dan akan kembali beroperasi kembali. Aku bahagia dengan aktivitas yang kujalani selama satu minggu bersama sahabat baruku. Bahagia yang kurasakan karena belajar dari pribadi sahabat-sahabatku. Mereka tak gentar dalam memimpin. Mereka tak henti-hentinya memperingatkan sahabatnya yang lain. Mereka terus memberikan yang terbaik untuk sahabatnya. Aku merasakan hal itu, saat kantuk merasuki alam bawah sadar dan sosok yang berada di sebelahku memberikan senyuman manis yang tiada tara. Sudahlah, semua telah berlalu.

Aku kembali ke asrama bersama 4 sahabatku yang diantarkan oleh seorang ayah dari sahabat kami. Kami berada dalam satu mobil dengan tubuh yang melemas. Sahabatku yang lain ada yang langsung menuju kampus untuk berkuliah. Sungguh power yang dimiliki masih full  content. Aku ingin tidur sejenak, karena pikiran ini sedang tidak baik-baik saja. Alhasil, gagal untuk menutup mata sejenak karena lebih asyik berdiskusi bersama seorang ayah.

“Aku kuat, aku kuat.” batinku. Sambil terengah-engah membawa tas gunung ke kamar.
Ternyata Allah memberikanku kesempatan untuk bersabar dalam segala hal. Tepat pukul 10.00 WIB, aku merasakan perbedaan suhu di tubuhku. Aku melihat kegelapan di sekitarku. Ingin rasanya kurebahkan tubuh ini dan memberikan kesempatan tubuhku untuk beristirahat. Padahal, saat itu aku mendengar suara musik di perut, namun tak kuhiraukan. Biarkan ia bermain sepuasnya.

Berhari-hari aku mengalami hal yang sama. Hanya terbaring diatas ranjang, menggerakkan bibir untuk memuji asma-Nya, dan makan. Makanpun tak senikmat saat bersama teman-teman di acara NLC 2016. Ada satu perbedaan yang kurasakan, yakni merasakan perihnya tak bisa tersenyum di malam hari saja. Benar sekali, hanya malam hari aku merasakan demam yang cukup tinggi. Momen inilah yang harusnya tak boleh dilewatkan. Hal itu kujalani selama empat hari. Mungkin terlihat tidak lama, namun apabila dirasakan dan dijalani serasa lama dan tak tau kapan bisa kembali normal.

“Yakinlah bahwa Allah memberikanmu kesempatan untuk bersabar dan berdoa sebanyak-banyaknya agar dosa-dosa yang telah diperbuat bisa gugur.” nasehat salah satu sahabat saya di asrama.

Baru saja ku mendapat pelajaran berharga pada penggalan bait Idealisme Kami, disitu aku merinding dan berpikir keras. Bagaimana caranya menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dengan kontribusi untuk masyarakat? Padahal, dalam diri masih terdapat kecacatan? Ku berpikir selama kurang lebih empat hari di setiap malam. Sembari berbaring diatas ranjang yang penuh kenikmatan. Tak habis pikir pada pahlawan bangsa yang tak lelah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ditengah-tengah rasa sakitnya, tak ada kata menyerah. Nah, sekarang aku yang tinggal membangun dengan lebih baik lagi, masih mengeluh? Lemah sekali diri ini.

Lalu apa kuncinya? Kata banyak orang, kita harus bersabar dan ikhlas. Tak ada paksaan dalam melakukan ibadah. Kalau kamu ikhlas menjalankan, kau akan mendapat hal itu pula. Segalanya kau lakukan sesuai niat. Tak ada yang tau niat seseorang, kecuali dirinya sendiri.

Aku tak tahu rencana Allah selanjutnya. Aku merasakan ada hal yang berbeda sejak waktu shubuh. Aku dapat melakukan aktivitas sebagaimana mestinya, bersama sahabat-sahabatku. Sungguh nikmat esok hari dapat menghirup udara yang jarang pernah kulakukan. Aku tahu mengapa  setelah sholat shubuh dilarang untuk tidur kembali.

Aku duduk santai di tangga asrama sembari mengetik pesan untuk sahabatku yang jauh diujung sana. Tak lama ada yang mengatakan sesuatu dan bernyanyi “Selamat ulang tahun...” lalala aku tak tahu harus bergerak seperti apa. Mengapa Kau berikan mereka untukku?

Antara ingin dan tak ingin. Malam harinya, aku menerima sambutan hangat dari teman satu angkatan saat di IC. Cinta mereka karena Allah. Terkadang yang tak dibayangkan justru terjadi dan tak bisa ditebak. Speechless men... Selalu saja ada yang baru dan membuatku untuk terus rindu pada suasana seperti ini.

Esok harinya, orangtua tercinta datang ke Jogjakarta mengantarkan makanan khas Solo. Yea, serabi Notosuman yang dikenal gurih oleh masyarakat Indonesia. Mereka masih terlihat muda, karena semangatnya yang tak henti menjengukku tiap minggu. Aku tak menanyakan, “Kok ngga capek?” karena aku tahu hal itu akan membuat ayah dan ibu terbahak-bahak. Aku hanya bertanya, “Mau langsung pulang?” karena aku berharap agar beristirahat dahulu, setidaknya 5 jam lagi.

Sudahlah.

Mulai saat ini, aku tak akan mengeluh dan merasa lemah. Sakit sedikit, lawanlah! Sadarilah bahwa hadiah terindah di 13 Agustus tahun ini adalah kesehatan dan berjumpa dengan orang-orang yang –insya Allah- membawaku ke surga. Saat ini, aku tinggal bersama 30 sahabat di asrama. Aku berharap agar kita saling memahami dan terus menguatkan. Aku bertemu mereka karena Allah, dan akan berpisah karena Allah.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

- Copyright © Mampukah kita melintasi dahsyatnya badai kehidupan? - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -