Posted by : Annisa Nur PS Selasa, 26 Januari 2016



Yogyakarta, 8 Agustus 2015

Sudah seminggu ku merasakan kebahagiaan setelah tahun baru itu. Hari ini ku memutuskan untuk pulang ke kampong halaman. Kuberikan kabar pada orang tuaku atas kepulanganku ini. Mereka menerimanaya dengan suka cita, seakan tak bertemu anaknya selama bertahun-tahun. Seperti biasa, aku kembali dengan dua tas yang terdiri dari satu tas ransel dan satu tas jinjing. Tak ada yang menemani perjalanan ini. Hanya doa yang dikirim oleh orang-orang yang sayang terhadapku.

Kutinggalkan kota penuh cerita ini dengan malas. Aku masih merindukan saat bersama kawan seperjuangan hingga Ujian Semester 1 berakhir. Merelakan tengah malamnya untuk mempelajari hal yang belum dipahami. Mencurahkan sepertiga malam terakhir untuk memohon agar diberikan kemudahan dalam setiap langkah. Bersabar dengan keadaan yang terjadi dan ikhlas atas apa yang diusahakan.

Sempat bingung akan aktivitas apa yang harus kulaksanakan sembari menunggu kereta datang. Aku membuka pesan masuk dari seorang yang ku kenal enam bulan yang lalu. Ia mengabari jika telah tiba Jakarta dengan selamat. Alhamdulillah, kabar baik telah datang. Ia juga menanyakan keberadaan ku saat ini. Aku menjawab seperlunya, tak ada panjang kata hingga larut ke percakapan lainnya. Namun, banyaknya pertanyaan yang kurasa tak penting untuknya, terus mendarat di ponsel ini. Aku harus apa?


Kereta yang membawaku kearah timur pun tiba. Segera ku masukkan ponsel dan bergegas menuju gerbong 4. Sepi, layaknya pikiran ini yang hanya memikirkan rumah. Sepanjang perjalanan, ku tak bisa memejamkan mata seperti penumpang lain. Ku nikmati hijaunya alam dan bersyukur atas penglihatan yang ku miliki. Hingga aku tak peduli akan bunyi ponsel yang sedari tadi meminta perhatian. Sudahlah, seseorang tadi sepertinya mengkhawatirkanku.

Aku baik-baik saja tanpa dia yang setiap kali menghubungiku. Katanya, ia hanya memastikan keberadaanku. Katanya pula, ia selalu terbayang jika aku tak membalas pesannya. Ah, gombal. Akhir-akhir ini aku tak peduli dengan celotehan orang, apalagi curhatan mereka. Aku lebih suka mengasingkan diri daripada harus mendengarkan kegalauan yang tiada habisnya. Kata orang, setidaknya cerita ke teman bisa membuat hati lega walaupun belum ada solusinya. Memang benar, tapi hal itu tak kunjung membuat jernih pikiran. Selalu terpikirkan akan hal itu setiap saat, hingga membuat kegiatan lain terabaikan. Oleh karena itu, aku tak suka jika sekadar berbicara pada teman.

Kata orang, hidup itu pilihan. Aku memilih cara ini untuk menghiasi hidupku. Berharap tak ada yang tersinggung ketika ku memilih untuk menjalankan sesuai dengan hatiku. Sebagai bukti, hingga detik ini tak ada yang memprotes akan pilihan yang menjadi  bagian dalam hidupku. Terima kasih atas perhatian yang telah kau berikan padaku, ku akan membalas dengan caraku yang telah menjadi pilihanku.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

- Copyright © Mampukah kita melintasi dahsyatnya badai kehidupan? - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -