Posted by : Annisa Nur PS Minggu, 02 Agustus 2015

"Din, aku bingung harus berkata apa dengannya."

Alfia, Dia adalah temanku saat di sekolah menengah tingkat atas. Kami baru berkenalan dua minggu yang lalu. Tak tahu kena ledakan apa, kami langsung saling mengenal. Pada dasarnya, aku juga cerewet. Alfia lebih cerewet lagi. Ditambah lagi, saat bercerita selalu dibumbui cerita konyolnya.

Sabtu. Hari yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak dan remaja. Tak hanya mereka, orang dewasa pun juga menunggu hari baik ini. Hari untuk beristirahat sejenak dari rutinitas mingguannya. Kebetulan sabtu ini, kami diundang ke acara ulang tahun teman kami. Aku tak begitu mengenalnya. Namun Alfia sangat mengerti dia. Dia pun mengerti Alfia. Aku tak tahu, sebatas mana pengertian mereka. Mereka pernah satu sekolah di SMP.

Garden Party. Acara ulang tahunnya yang meriah, membuatku takjub. Darimana konsep dan barang-barang ini didapat? Bagaimana tidak, cita-cita ku ingin menjadi EO. Apapun itu. Berbeda dengan Alfia. Dia sibuk memperhatikan sang tuan rumah. Kali saja, sang tuan rumah bergandeng dengan seorang wanita. Bukan, bukan ibunya. Melainkan, tambatan hatinya saat itu.

Radifan. Nama yang unik. Dilihat dari namanya, ia tak mungkin berpacaran. Itu sih pendapatku saja. Sebagai manusia normal, setidaknya ia mempunyai sosok terindah di hatinya. Begitupun aku dan Alfia. Alfia belum tahu siapa sosok dalam hatiku. Aku tak mudah memang mengatur isi hati. Sering berganti. Maka dari itu, aku tak pernah bercerita menyangkut masalah hati.

Tapi aku tahu. Siapa yang mengisi hati Alfia. Curang ya. Ah tidak juga. Salah sendiri dia tak menyembunyikannya. Alfia bercerita, aku mendengar. Alfia terdiam, aku lebih diam. Karena aku tak bisa membuka pembicaraan tanpa ada pembukaan dari orang lain.

Living Room. Di ruang ini, Alfia terus menatap gerak-gerik Radifan. Aku hanya tersenyum simpul melihat bola matanya yang hanya tertuju pada satu orang itu. Aku tidak tertarik untuk melihat Radifan. Terlalu banyak yang meliriknya sehingga terlalu cepat untuk sakit hati. Itu menurutku. Maka dari itu, aku selalu mencari sosok yang jarang diketahui banyak orang. Stop!

Alfia mengajakku untuk berbincang-bincang dengan Radifan. Namun aku menolaknya. Mau dipasang dimana muka ku jikalau digunjing perempuan-perempuan pengagum Radifan. Akhirnya, Alfia melaju dengan kecepatan yang diinginkan. Aku hanya berdoa saja. Semoga ia cepat sadar. Ku menunggunya di teras rumah Radifan. Senja yang indah. Hingga ku lupa, ku harus memotret nuansa ini.

Kamera. Benda sakral yang wajib ku bawa kemana pun aku pergi. Awalnya aku hanya memiliki kamera di handphone. Aku tak ingin memberatkan kedua orangtua ku. Lantas aku mengumpulkan uang untuk membeli kamera masa kini.

Setengah jam berlalu. Dimanakah Alfia? Oh God. Ia masih asyik bercengkrama dengan Radifan. Berani sekali dia hingga selama itu. Aku harus mencari cara agar kita segera pulang.
"Al, mag ku kambuh nih. Aku pulang dulu ya."
Alfia berusaha meyakinkanku bahwa ia berjanji untuk lima menit lagi. Kali ini aku mengalah.
Lima menit berlangsung dan aku memutuskan untuk pulang sendirian. Benar-benar sendiri tanpa berpamitan dengan tuan rumah. Namun, aku langsung mengirim pesan, mengucapkan terimakasih. Tanpa menanyakan kabar Alfia. Aku memang tega untuk masalah ini.

Alfia meneleponku. Mengirim banyak pesan masuk. Namun tak ada satupun yang ku jawab. Aku tidak marah. Hanya lelah seharian berkunjung dan berdiri tanpa ada kursi. Aku harus istirahat. Berlanjut esok hari, semoga keadaan kembali normal.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

- Copyright © Mampukah kita melintasi dahsyatnya badai kehidupan? - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -