Posted by : Annisa Nur PS Minggu, 15 Februari 2015

Jangan di pikir sebuah hadiah tak berarti apa-apa.
Seseorang akan merasa bahagia, jika ada yang memberinya hadiah.
Sekecil apapun bentuk dan harga hadiah itu.
Itu tandanya, kita bisa menunjukkan cinta pada saudara kita.
Bukan cinta dalam artian sepasang manusia (perempuan dan laki-laki).
Cinta ini untuk memunculkan arti persahabatan diantara kita.

Sore itu, aku duduk di lantai dalam sebuah ruangan yang terang. Biasanya, sore hari hujan mengguyur. Alhamdulillah, sore itu sangat cerah, ditambah anak kecil yang bermain di taman. Aku menunggu kehadiran sesorang yang telah lama kunantikan. Dia adalah sosok yang membuatku termotivasi untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Walau lama tak berkomunikasi, kami tetap mengingat satu sama lain. Satu minggu yang lalu, ia mengabariku lewat e-mail, yang menandakan bahwa ia akan datang di kediamanku. Aku tak berharap lebih. Karena, aku tahu, 1 bulan yang lalu, ia juga mengatakan hal yang sama, namun tak kunjung datang.

Namun, kali ini ia tak membohongi janjinya. Entah dengan transportasi apa dia bisa tahu kediamanku. Memang, tempat sekarang tak banyak orang yang tahu. Hanya beberapa kalangan saja yang mengetahui alamat terpencil ini. Kehadirannya tak membuatku kaget. Tak ada yang berubah dari wajahnya, apalagi senyumannya yang khas. Membuatku hanya bisa diam. Dia adalah sosok yang pendiam jika bertemu denganku. Atau aku yang tak bisa diajak mengobrol?

Kupersilakan dia memasuki ruangan sederhanaku. Hanya ada dua buah kursi dalam ruangan itu. Ditambah meja kecil yang telah tertumpuk buku-buku islami lama. Ia menatap sekeliling ruangan. Husnudzon saja, "Tempatnya rapih sekali." Bagaimana lagi, hanya kecil, haruskah tetap berantakan? Barang yang ku punya hanya sederhana, sesuai kebutuhan. Ku biarkan ia mengamati ruangan dan membaca buku-buku usang itu.

Aku menjamunya dengan sederhana. Dengan makanan mie satu piring dan air mineral dalam gelas. Agar kita bisa lama dalam berbincang. Tapi apa yang terjadi? Kita hanya diam satu sama lain. Haruskah aku yang memulai percakapan?

Tiba-tiba, ia mengeluarkan sebungkus kotak kecil dan ditaruh diatas meja. Tak berani aku menyentuhnya bahkan melihat nya. Aku hanya tersenyum, seakan-akan ia tahu apa yang akan aku tanyakan.
"Bukalah, ini untukmu." kata seseorang itu.
"Oh." jawabku singkat.

Ketika aku mulai membukanya, sangat ringan. Tak ada 1/4 kilogram. Mencoba menafsirkan, isi dari kotak kecil itu. Ah, tak boleh berprasangka buruk dan aku harus ikhlas, apapun isinya. Harusnya aku berterima kasih. Jauh-jauh dia datang kesini. Hanya memberikan sebungkus hadiah kecil. Sempat aku berfikir, "Kenapa nggak dikirim pos aja ya? Jaman modern gitu."

"Hadiah ini aku berikan, karena aku sangat merindukan masa-masa dulu. Ketika kita saling berbagi cerita, motivasi yang menggugah hidup. Aku ingin membangun kembali dengan silaturahmi ini, jika kau berkenan. Aku siap dengan segala rintangan yang terjadi. Walau aku berada di seberang samudra sana. Karena dengan terhubungnya tali silaturahmi ini, aku lebih tenang dalam menjalankan aktifitasku. Dan pastinya kau tak akan sendirian lagi. Aku tahu, jaman sudah berubah. Namun, jangan menjadikan yang dekat malah menjauh. Dan yang jauh malah mendekat."

Tak bisa ku berkata-kata. Aku tersenyum tanpa meng-iya-kan isi dari hadiah itu. Sebuah paragraf, namun mahal harganya. Dengan inilah aku dan dia tak akan saling melupakan. Hingga kami berkeluarga masing-masing. Dan perbedaan tempat, tak membuat kami saling berjauhan.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

- Copyright © Mampukah kita melintasi dahsyatnya badai kehidupan? - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -