- Back to Home »
- Sejarah »
- (Analisis Pidato)
Posted by : Annisa Nur PS
Rabu, 05 November 2014
1951: Capailah
Tata-Tentrem-Kerta-Raharja
“Adakanlah koordinasi,
adakanlan simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan-sendiri dan
kepentingan-umum, dan janganlah kepentingan-sendiri itu dimenangkan di atas
kepentingan-umum!”.
AMANAT PRESIDEN SOEKARNO
PADA ULANG TAHUN
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA,
17 AGUSTUS 1951 DI
JAKARTA
Saudara
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat!
Tuan-tuan
dan Nyonya-nyonya!
Seluruh
Rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke!
Pidato
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat mengisi hati kita dengan rasa terima kasih,
dan menambah keberanian kita untuk meneruskan perjoangan kita menurut
ancer-ancer yang telah kita tentukan bagi diri kita sendiri.
Benar
sekali: hari ini adalah hari yang amat
penting. Sebab pada hari ini, buat keenam kalinya bangsa Indonesia memperingati
ulang tahun Proklamasinya, yang telah menjadi canang permulaan Kemerdekaannya.
Manakala nanti, sebentar lagi, ucapan Proklamasi itu diulangi, maka genap tujuh
kalilah kata-kata yang berhikmat dan bersejarah itu didengungkan kepada
khalayak dunia, dari Timur sampai ke Barat, dari Selatan sampai ke Utara.
Saudara-saudara!
Alangkah besar bedanya hari-ulangan ucapan Proklamasi yang sekarang ini, dengan
hari-ulangan ucapan Proklamasi yang dulu-dulu! Coba
bandingkan!
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dilakukan di Jakarta ini
pada waktu persimpangan sejarah Dunia, yaitu pada waktu gugurnya Negara-negara
fasis oleh hantaman-hantamannya Negara-negara demokrasi. Pada 17 Agustus 1945
itu, tentara S.E.A.C. (South East Asia
Command) dari pihak Sekutu, yang ditugaskan melapangkan kembali keadaan
Kolonial Belanda, nyata akan mendarat! Toh kita berani mengadakan Proklamasi!
Toh kita berani berkata : kita merdeka, kita tidak mau dijajah kembali! Nyata
dus, bahwa Proklamasi itu kita ucapkan dengan pertaruhan seluruh jiwa-raga,
seluruh “mati atau hidup”, daripada bangsa kita Indonesia. Tidak serambutpun di
atas tubuh kita ini yang pada saat itu mengatakan, bahwa kita, sebagai akibat
dari Proklamasi itu, akan tidak mengalami masa-masa yang sulit, yang berbahaya,
yang penuh dengan penderitaan dan korbanan. Sebaliknya! Semua kita pada waktu
itu mengetahui: Zaman Percobaan ini benar-benar akan datang!
Ulangan
Ucapan Proklamasi yang pertama, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1946, telah
berada di tengah-tengah alam percobaan itu! Ulangan pertama ini berlaku di
Jogya, setelah perundingan di “Hoge Veluwe”, yang pada permulaan-nya di
Indonesia dilakukan dengan good offices-nya Sir Archibald Clark
Kerr, telah gagal, dan – meriam dan bedil, granat dan bambu-runcing
sedang berbicara terus di sekitar Jakarta dan Surabaya, yang memang telah jatuh
di tangan Belanda.
Waktu
itu perundingan Linggajati dengan good offices-nya Lord Killearn akan dimulai …
Tetapi
pada Ulangan Ucapan Proklamasi yang kedua, – 17 Agustus 1947 di Jogya -, telah
terbuktilah bahwa Persetujuan Linggajati, yang telah ditanda-tangani pada
tanggal 25 Maret 1947 di istana belakang ini, oleh fihak Belanda telah
dirobek-robek samasekali: 21 Juli 1947 dimulailah oleh fihak Belanda itu
aksi-militernya yang pertama, – tentaranya yang bersenjatakan tank dan meriam
dan bom dan dinamit itu menyerbu daerah-daerah Republik
kita di Jawa Timur, di Jawa Tengah Utara, di
Jawa Barat, di Sumatera Selatan, dan di Sumatera Timur!
Maka pada
saat Ulangan Ucapan Proklamasi yang ketiga, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1948
di Jogya, sedang berlangsunglah perundingan-perundingan di Kaliurang, –
mula-mula dengan good offices-nya “KTN.”, kemudian dengan good offices-nya
“UNCI” – perundingan mana adalah merupakan pelanjutan daripada persetujuan
“Renville” (17 Januari 1948).
Nyata
benar pada waktu itu, bahwa yang menyukarkan persetujuan ialah berlainannya
pokok pendirian : Belanda maunya menyanggupi kemerdekaan kepada kita di
kelak-kemudian hari, setelah berlangsung zaman peralihan entah-sampai-kapan, di
mana kedaulatan masih di tangan Belanda samasekali pula, – sedang kita tentu
tidak mau menerima pikiran keblinger yang demikian itu. Waktu itu Belanda
memang merasa dirinya kuat! Sebab pada waktu itu ia sudah bersiap-siap untuk
mendirikan suatu organisasi ketatanegaraan baru yang hanya terdiri dari
“negara-negara BFO” saja, yang telah dibentuknya di luar
Republik, dan – masih teringat pula oleh kita sekarang ini sebagai hari
kemarin, bahwa tidak lama kemudian daripada
itu pun – yaitu kurang-lebih sebulan sesudah Ulangan Ucapan Proklamasi yang
ketiga ini – kita mendapat tikaman dari dalam, dalam bentuk pemberontakan
“Madiun”, yang – Allahu Akbar – akhirnya dapat juga kita padamkan.
Tetapi
belum pula luka-luka akibat pemberontakan Madiun itu sembuh, – 19 Desember
tahun itu juga dilangsungkan oleh fihak Belanda aksi militernya yang kedua:
Jogya digempur, seluruh daerah Republik (kecuali daerah-daerah pegunungan dan
Aceh) diduduki, pemimpin-pemimpinnya dikocarkacirkan, rakyatnya diterorisir, bendera Dwi Warna hendak dienyahkan samasekali dari
muka bumi, kami dibuang ke Prapat dan ke Bangka.
Akan
tetapi sebagai kukatakan tempo-hari: Maha Perancang menghendaki lain. Berkat
perjoangan kita yang mati-matian di lapangan pertempuran dan di lapangan
diplomasi, keadaan berbalik lagi: Ulangan Ucapan Proklamasi yang keempat pada
tanggal 17 Agustus 1949 dapat berlangsung menurut upacara Negara. Bukan di
hutan. Bukan di gunung. Bukan di padang yang
tandus. Tetapi di kepresidenan Republik, di kota Jogyakarta, disaksikan pula
oleh beberapa wakil luar negeri.
Gerilya
total yang kita adakan untuk melawan aksi
militer Belanda yang kedua ini, ternyata tidak sia-sia. Dan U.N.O. pun
campur-tangan dua kali, pertama pada 28 Januari 1949, kedua pada 23 Maret
kemudian. Negara-negara Asia membela kita di
konferensi di New Delhi. “Bom yang meledak di
benteng Jogyakarta, ternyata telah meledak mengenai moralnya dunia”,
demikianlah kukatakan tempo-hari. 6 Juli 1949 Pemerintah Republik dikembalikan
lagi di Jogyakarta. Konferensi Antar Indonesia kemudian telah berlangsung pula,
sehingga pada 17 Agustus 1949 itu, delegasi Republik telah berada di Den Haag
menghadiri K.M.B. untuk menagih janji Belanda menyerahkan kedaulatan kepada
kita yang “real, complete, and unconditional”.
Begitulah,
maka tepat setahun yang lalu, – 17 Agustus 1950 -, saya telah berdiri di tangga
Istana Merdeka ini bersama-sama dengan saudara-saudara, untuk menyaksikan
Ulangan Ucapan Proklamasi yang kelima, yang sejak Proklamasi di Pegangsaan
Timur itu buat pertama kali berlaku di Jakarta lagi, dan dengan pengakuan penuh
dari seluruh dunia pula! Tanggal 17 Agustus 1950 itu merupa-kan tugu-waktu yang
amat penting pula, oleh karena pada waktu itu bentukan federasi, yang kita
alami sejak 27 Desember 1949, telah kita kubur kembali, sebagai satu bentukan,
yang samasekali tidak sesuai, bahkan bertentangan, berlawanan dengan cita-cita nasional yang telah berkobar-kobar dalam
dada kita sejak puluhan tahun! Ada orang-orang yang mula-mulanya mengira bahwa
bentuk federasi itu dapat dipertahankan althans sampai terbentuknya
Konstituante, tetapi sejarah menyaksikan, bahwa segera sesudah R.I.S. berdiri
meledaklah dan menyala-nyalalah di negara-negara-bagian luar Republik
pergerakan-pergerakan rakyat yang hebat, yang menuntut dikuburnya bentuk
federasi itu dan dibangun-kannya kembali bentuk kesatuan. Siapa kuasa menahan
desakan rakyat? Desakan itu demikian hebatnya, demikian bergeloranya, demikian
suci-murni-jujur-ikhlas-api-jiwanya, sehingga pada tanggal 9 Maret 1950
negara-negara-bagian dan daerah-daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Padang,
Sabang, Pasundan dikembalikan resmi di bawah panji-panjinya Republik, disusul
pada tanggal 24 Maret oleh Jakarta, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, disusul
lagi pada tanggal 4 April 1950 oleh Banjar, oleh Dayak Besar, oleh Kalimantan
Tenggara, oleh Kotawaringin, oleh Bangka, oleh Belitung, dan oleh Riau.
Maka
pada tanggal 5 bulan April, hampir telah gugur samasekali lah bentuk federasi
itu. Pada tanggal itu, hanya tiga bagian saja yang masih tinggal: Republik
sendiri, Indonesia Timur, Sumatera Timur. Maka usaha mempersatukan diterus-kan
dengan giat. Pembicaraan antara Pemerintah R.I.S. (yang mendapat kuasa-penuh
dari Indonesia Timur dan Sumatera Timur) dengan pemerintah Republik,
menghasilkanlah persetujuan menjelmakan-kembali bentuk kenegaraan yang memang
dimaksudkan oleh Proklamasi 1945: Negara Kesatuan bangun kembali pada tanggal
17 Agustus setahun yang lalu itu, Negara Kesatuan, yang memang buat itulah kita
berjoang puluhan tahun, yang memang buat itulah kita telah berkorban dengan
cara yang sukar dicari taranya di dalam sejarah! Dengan demikian, – dengan
telah terbentuknya-kembali Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 itu,
maka tidak pernahlah Ulangan Ucapan Proklamasi itu diucap-kan dalam alam
federasi!
Maha-Besarlah
Tuhan, yang membuat kita ini bangkit 43 tahun yang lalu, yang menganugerahi
kita ini enam tahun yang lalu dengan inspirasi Proklamasi, dan yang melindungi
dan menuntun kita ini dalam segala penderitaan-penderitaan, segala
kesulitan-kesulitan, dan segala korbanan-korbanan untuk membela Proklamasi itu.
Ya,
saudara-saudara, Tuhan Maha-Besar. Sebab, apakah yang kita alami pula sejak
penyerahan kedaulatan itu? Gegap-gempitanya waktu yang lalu itu melampaui
fantasinya jiwa-jiwa yang tidak mampu menjangka sejarah! Bukan saja bangsa
Indonesia ini, bangsa Indonesia, yang kadang-kadang orang sebutkan “het
meegaandste volk der aarde”, “het tamste volk der aarde”, – yaitu bangsa
yang paling nurut -, dalam waktu yang kurang dari satu tahun saja telah dapat
meruntuhkan dan mempuingkan kembali satu struktur kenegaraan federasi yang oleh
fihak Belanda telah disiasatkan, dibangunkan, dipupuk-dirabuk-disuburkan dengan
segala kecakapannya dan segala muslihatnya, – bukan itu saja -, tetapi bangsa
Indonesia ini dalam waktu sesudah penyerahan kedaulatan itu dapat mengatasi
pula pukulan-pukulan yang terus-menerus, yang datang dari fihak-fihak yang tak
senang dan tak rela kepada penyerahan kedaulatan itu, ataupun tak senang dan
tak rela kepada terhapusnya bentukan federasi yang mereka cintai itu. Apakah
pukulan-pukulan itu? Aksi Westerling adalah pukulan, aksi Andi Azis adalah
pukulan, insiden Makasar yang kedua adalah pukulan, pemberontakan Soumokil
dengan “Republik Maluku Selatan”-nya, adalah pukulan. Tetapi semua
pukulan-pukulan itu Alhamdulillah kita pukul kembali rebah hancur-lebur, semua
pukulan-pukulan itu akhirnya sekadar kita jadikan tanda kejet-sekaratnya
kolonialisme saja, yang masuk ke alam mati.
Aksi
Westerling telah kuceritakan dalam pidato 17 Agustus tahun yang lalu, demikian
pula aksi Andi Azis, dan demikian pula insiden Makasar yang kedua. Cukup saya katakan
di sini, bahwa Westerling meloloskan diri dengan per-tolongan opsir-udara
Belanda, bahwa Soumokil kabur pula entah ke mana perginya, bahwa Andi Azis
sekarang sedang menunggu pengadilannya oleh hakim, dan bahwa ada seorang lagi
yang menunggu pengadilan itu, ialah Sultan Abdul Hamid. Tinggal saya ceritakan
di sini kelanjutannya avontuur “Republik Maluku Selatan” itu. Setelah Soumokil
membangkitkan semangat melawan Negara Kesatuan di Makasar yang meluap menjadi
pemberontakan Azis, maka terbanglah ia dengan kapal udara Belanda ke Menado.
Tetapi rakyat Minahasa tidak sudi mengikuti pikatannya, dan Soumokil lantas –
dengan memakai kapal udara Belanda itu pula – terbang ke Ambon. Di sana itulah
ia berhasil mengajak 2.000 orang KNIL yang masih di bawah komando Belanda untuk
memberontak. “Republik Maluku Selatan” diproklamirkan, satu Republik avontuur
yang samasekali terlepas dari R.I.S. atau NIT. Saudara-saudara masih ingat
gagalnya missi Leimena untuk mencoba menyedarkan mereka, dan gagalnya pula satu
missi perdamaian lain yang telah diadakan oleh beberapa saudara Ambon
partikelir untuk bicara dengan mereka. Maka dapatkah kita, Republik Indonesia
yang merdeka, Republik yang mempunyai rasa-kehormatan Negara, Republik yang
bertanggungjawab pula atas keselamatan penduduk di Maluku Selatan yang
diterorisir oleh R.M.S. itu, – dapatkah kita tinggal diam? Dr. Drees mempunyai
fikiran lain tentang hal ini, tetapi kita yang souverein, berdaulat ini,
mempunyai fikiran kita sendiri. Kalau semua usaha berbulan-bulan untuk bicara
baik-baik dengan kaum pemberontak gagal, maka terpaksalah kita mempergunakan
tangan besi. Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara kita perintahkan
untuk mematahkan pemberontakan itu! Bulan Juli 1950 pulau-pulau Buru dan Ceram
kita duduki kembali, akhir September pendaratan di pulau Ambon kita mulai,
tanggal 3 November 1950 Sang Dwi Warna kita pancangkan di kota Ambon lagi.
Soal
“Republik Maluku Selatan”. Sebenarnya ini adalah salah satu dari dua kesulitan
yang dibangunkan oleh caranya fihak Belanda menyelesaikan soal KNIL. Walaupun
KNIL dengan resmi dibubarkan pada tanggal 26 Juli 1950, – dua kesulitan itu
nyata berada. Pertama soalnya orang-orang Indonesia bekas KNIL yang sesudah
pembubaran KNIL memperoleh kedudukan sebagai K.L. Kedua soal pemberontakan di
Maluku Selatan tadi.
Soal
orang-orang KNIL yang sementara menjadi K.L., kita pandang sebagai satu
tragedi. Bukankah suatu tragedi? Ah, mereka adalah suatu golongan dari bangsa
kita yang tidak melepaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh dan jalan fikiran
yang tidak sesuai lagi dengan keadaan baru di tanah-airnya sendiri. Bukankah
suatu tragedi? Mereka akhirnya telah diangkut ke tanah orang lain, ke negeri Belanda, dengan tiada tujuan samasekali, yang
tertentu. Ya, suatu tragedi, yang menurut keyakinan kita, tadinya dapat
dihindarkan apabila sejak mulanya pimpinan tentara Belanda menghadapi soal KNIL
ini dengan cara dan tujuan yang lebih sesuai dengan persetujuan-persetujuan
yang telah diteken. Dan satu tragedi yang terlebih-lebih tragis, oleh karena
tadinya Pemerintah Indonesia dan Pimpinan Angkatan Perang Indonesia telah
menjalankan segala-galanya untuk menghindarkan tragedi itu, tetapi tertumbuk
kepada cara dan tujuan pimpinan tentara Belanda menghadapi soal itu.
Dan
mengenai soal Maluku Selatan itu tadi, – atau lebih tegas: soal pemberontakan
anggauta-anggauta KNIL di Ambon dan sekitarnya – kita sejak mulanya
menghadapinya dengan hati yang jembar dan kepala yang dingin, dalam
pengharapan, bahwa pada satu ketika, mereka yang memimpin pemberontakan itu
akan menginsyafi bahwa jalannya adalah jalan yang sesat, yang kelihatannya
telah ditempuh oleh mereka berdasarkan kepercayaan, bahwa nanti akan ada
golongan-golongan dari luar negeri yang akan menolongnya. Tetapi yah, harapan
itu ter-nyata kosong, dan akhirnya, darah terpaksa kita alirkan.
Dengan
kepala yang tunduk, saya memperingati pahlawan-pahlawan yang gugur dalam
operasi ini. Mereka telah memberikan jiwanya untuk kedaulatan Negara, mereka
telah mengorbankan korbanan yang tertinggi untuk memelihara Kesatuan Indonesia,
mereka telah membebaskan rakyat kita di Ambon dan sekitarnya dari kekuasaan
teror yang tiada berhingga. Dan bukan saja saya yang menundukkan kepala di
hadapan mereka itu: penghargaan dan penghormatan yang ditunjukkan oleh rakyat
kita di Maluku Selatan terhadap mereka itu adalah bukti yang senyata-nyatanya,
bahwa rakyat Maluku Selatan pun menginsyafi sedalam-dalamnya untuk apa mereka
itu telah memberikan jiwa-raganya.
Saudara-saudara!
Sesudah berkali-kali ditangguh-tangguhkan saja, maka akhirnya pada tanggal 3
Mei tahun ini Komando K.L. di Indonesia dihapuskan. Bulan Juni berikutnya
selesailah pengiriman orang-orang tentara Belanda ke negerinya sendiri. Sejak
hari itu, pada kenyataannya selesailah likwidasi alat-alat militer Belanda di
Indonesia.
Camkan
arti kejadian ini dalam sejarah! Untuk pertama kali sejak berabad-abad, sejak
sebelumnya zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo, tidak ada lagi angkatan perang
asing di Indonesia, kecuali di Irian Barat. Untuk pertama kali sejak Pieter
Both diresmikan oleh Belanda menjadi gubernur jenderal pada tahun 1610, tidak
ada lagi angkatan perang asing di bumi-keramat tanah-air kita ini, kecuali di
bagian Timur itu!
Maka
aku ingat kepada pertempuran-pertempuran kita, kepada gerilya kita, kepada
politik bumi-hangus kita, kepada desa-desa kita yang babis terbakar, kepada
pemuda-pemuda kita yang telah gugur atau menjadi invalid, kepada wanita-wanita
kita yang menjadi janda atau kanak-kanak kita yang menjadi yatim-piatu, kepada
penderitaan rakyat kita yang tiada terkatakan pedihnya, sebelum penyerahan
kedaulatan pada 27 Desember 1949, untuk mengusir angkatan perang asing itu dari
bumi-keramat kita ini.
Tuhan
moga-moga tetap memberkati segenap korbanan-korbanan rakyat kita itu, dan Tuhan
moga-moga tetap memberkati perjoangan kita seianjutnya, untuk membuat tanah-air
kita ini tanah-air yang bahagia.
Dan aku
ingat pula kepada bantuan UNCI, yang dengan peristiwa hapusnya komando K.L.
pada 3 Mei 1951 itu, selesailah pekerjaannya di indonesia itu. Pekerjaan UNCI
itu sangat kita hargai, bantuan mereka tiap-kali ada kesulitan atau tiap-kali
ada kemungkinan kesulitan, telah sering menghindarkan pengorban-an jiwa atau
pengorbanan harta-benda yang tiada berguna. Kita selalu mengingat UNCI dengan
rasa terima kasih, meskipun penyelesaian soal angkatan perang Belanda itu amat
terlambat, di luar kesalahan UNCI itu.
Waktu
persetujuan-persetujuan Den Haag
ditandatangani, maka kita sangat mengharap bahwa likwidasi angkatan perang
Belanda itu dapat selesai dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, oleh sebab
rakyat kita telah cukup mengalami penderitaan-penderitaan dari angkatan perang
Belanda itu. Dalam K.M.B. direncanakan tempo enam bulan. Tetapi harapan ini
tidak terlaksana, sekalipun dari fihak kita selalu ditunjukkan kesabaran dan
kebijaksanaan, yang didasarkan atas pengertian terhadap kesulitan-kesulitan
yang dihadapi oleh pimpinan angkatan perang Belanda. Rupanya pada fihak Belanda
soal ini terlalu penuh dengan prasangka, terlalu penuh dengan anggapan-anggapan
prestige, terlalu penuh dengan kenang-kenangan kepada zaman keemasan yang
lampau, untuk dapat diselesaikan dengan tiada menimbulkan seribu-satu
kesulitan.
Sebagai
kukatakan tadi, baru dalam bulan Juni 1951 orang-orang tentara Belanda habis
dipulangkan ke negerinya. Ini berarti kelambatan, bukan satu bulan dua bulan,
tetapi kelambatan sebelas bulan!
Dan
juga sekarangpun belum semua kesulitan-kesulitan yang ditinggalkan oleh
angkatan perang Belanda itu telah selesai. Sebab, sebagian dari senjata-senjata
dari gerombolan-gerombolan yang mengganggu keamanan di negeri kita ini, adalah
tadinya senjata-senjata dari angkatan perang Belanda. Sebagian dari senjata
angkatan perang Belanda itu telah pindah ke tangan gerombolan-gerombolan selama
waktu likwidasi angkatan perang Belanda itu!
Saudara-saudara!
Sekianlah hal-hal yang mengenai likwidasi angkatan perang Belanda. Marilah
sekarang saya kembali kepada uraian yang mengenai keadaan umum. Dengan
menghadapi kejadian-kejadian yang tergambar di atas itu, Kabinet Hatta
menjalankan tugasnya: menyelenggarakan transisi (perpindahan) dari pemerintahan
kolonial ke arah pemerintahan nasional. Alangkah besarnya kesulitan-kesulitan
yang harus dihadapinya!, sebagai tadi kuceriterakan! Tetapi walaupun begitu,
transisi itu dapat berjalan dengan pesat! Pada saat Ulangan Ucapan Proklamasi
yang kelima setahun yang lalu, negara kita telah merupakan semata-mata Negara
Nasional Indonesia lagi, yang dari puncak sampai kepada bawahnya telah sesuai
dengan pengertian kedaulatan negara. Di dalam waktu 71/2 bulan saja, yaitu dari
hari penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950, jumlah
undang-undang biasa dan undang-undang darurat yang dikeluarkan oleh Kabinet
Hatta adalah 36, jumlah Peraturan Pemerintah 24, jumlah Penetapan Presiden 395.
Dan Dewan Menteri telah bersidang tidak kurang dari 45 kali.
Jika
nanti, beberapa saat lagi, Ulangan Ucapan Proklamasi yang keenam akan kita
dengarkan, maka akan tertutuplah dengan itu tahun pertama dari Negara Kesatuan
yang telah hidup kembali itu. Tetapi justru dalam tahun yang pertama daripada
Negara Kesatuan yang telah hidup kembali itulah, kita mengalami kekecewaan
besar dalam hal kenegaraan kita, yaitu penolakan Belanda untuk memasukkan Irian
kembali ke dalam wilayah kekuasaan kita.
Saudara-saudara,
sekali lagi di tangga Istana Merdeka ini saya membicarakan soal Irian. Sebelum KMB
dimulai, sudah diikrarkanlah oleh Belanda secara resmi, bahwa ia akan
mentransfer kedaulatan kepada kita secara real, complete, and unconditional.
Dan dalam Piagam Penyerahan Kedaulatan pun mereka telah menulis “menyerahkan
kedaulatan atas Indonesia”. Perhatikan: Akan mentransfer (menyerahkan)
kedaulatan secara “komplit”!, dan menulis pula menyerahkan kedaulatan atas
“Indonesia”! Tetapi ternyata: “komplit” berarti “tidak komplit” sebab Irian
masih ditahan, dan “Indonesia” berarti “bukan Indonesia”, sebab Indonesia yang
tulen ialah Hindia-Belanda dahulu seluruhnya, dengan Irian! Saya, dan dengan
saya 75.000.000 rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, menyesali amat
caranya fihak Belanda memberi arti yang menggelikan itu kepada
perkataan-perkataan “komplit” dan “Indonesia”, – mencoba memberi uitleg lain
kepada perkataan-perkataan itu, daripada apa yang dimengertikan oleh tiap-tiap
orang yang otaknya tidak berbelit-belit!
Saya
tahu, – memang dalam KMB kita menyetujui mereka melanjutkan status quo di Irian
Barat, tetapi kita menyetujuinya itu asal saja dalam tempo satu tahun telah
selesailah pembicaraan lebih lanjut tentang status Irian itu. Kenyataan kita
menjetujui status quo itu tidak mematikan kenyataan adanya janji bahwa
kedaulatan akan diserahkan secara complete, dan tidak pula mematikan kenyataan
bunyi-tulisan bahwa kedaulatan akan diserahkan atas Indonesia. Tetapi apa yang
telah terjadi? Walaupun kita dalam konferensi Irian yang diadakan di Den Haag
pada tanggal 4 Desember 1950 telah bersikap selama-lamanya, walaupun kita telah
mengusulkan akan memberi kepada mereka beberapa kelonggaran atas Irian, asal
saja kedaulatan kita atas Irian Barat mereka akui dengan segera, sesuai dengan
janji tentang “complete sovereignty” itu, sesuai pula dengan arti perkataan
“‘Indonesia” dalam Piagam Penyerahan Kedaulatan, – mereka toh tetap menolak
tuntutannya rakyat kita yang 75.000.000 itu, sedang katanya mereka hanya
ber-sedia menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Unie, dengan pimpinan
pemerintahan akan tetap di tangan Belanda, dan fihak Indonesia boleh turut
mengirim separoh dari jumlah wakil-wakil yang akan duduk dalam Nieuw Guinea
Raad, – Nieuw Guinea Raad, yang hanya Tuhan mengetahui apa hak-haknya pula!
Saudara-saudara!
Coba fikirkan! Kita ditawari penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada
Unie! Ya kita!, kita yang telah berpuluh-puluh tahun menyatakan
anti-penjajahan, berjoang melawan penjajahan, berkorban melawan penjajahan, ada
yang mati melawan penjajahan, – kita ditawari penyerahan kedaulatan atas Irian
Barat kepada Unie! Tidakkah ini berarti kita ditawari ikut-serta dalam usaha
Belanda mengkolonisir Irian Barat? Sapi terbang masih mungkin barangkali,
tetapi ini – yaitu kita ikut-serta mengkolonisir sesuatu daerah – ini tidak
mungkin samasekali!
Tawaran
penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada Unie itu, kita tolak
mentah-mentahan. Konferensi Irian ternyata gagal. Delegasi kita pulang. Kita
menyatakan bahwa kita hanya bersedia berunding lagi, asas dasar penyerahan
kedaulatan di Irian Barat. Maka sejak 27 Desember 1950 itu, Belanda memerintah
Irian Barat – yang menurut Undang-Undang Dasar kita adalah bagian dari daerah
Republik kita – dengan tidak seizin kita lagi. Bagi kita, mereka adalah fihak
yang menduduki satu daerah Negara kita. Mereka adalah satu bezettende overheid.
Mereka berbuat sesuatu tindakan yang bukan tindakan-sahabat. Maka haruskah kita
tinggal dalam ikatan Unie dengan mereka, yang telah berbuat demikian itu,
sebagai “bevriende partners”? Lihat, itupun satu hal yang lebih tidak
mungkin lagi, daripada seekor sapi yang bisa terbang!
Karena
itu Unie harus dibatalkan. Harus ditiadakan! Hubungan Indonesia-Belanda harus
tidak dengan ikatan Unie lagi. Ditinjau dari sudut yang lebih dalam daripada
persengketaan tentang Irian Barat pun, maka Unie pada hakekatnya adalah suatu
hal yang sangat berat bagi orang Indonesia untuk menyesuaikannya dengan
pengertian kemerdekaan penuh dan kedaulatan-penuh. Unie adalah berbau amat
kepada konsepsi yang dulu selalu dipegang-teguh oleh fihak Belanda, yaitu
konsepsi “hervorming van het Koninkrijk der Nederlanden” dengan
mengadakan satu badan-persahabatan yang beranggauta anggauta-anggauta yang sama
derajat-nya. Maka berdasarkan hasil pekerjaannya Panitya Negara Chusus, yang
telah menyelidiki hasil-hasil K.M.B. sedalam-dalamnya, dan yang mengenai Unie
dengan tegas berpendapat bahwa Unie Indonesia-Belanda sebaiknya harus
dihapuskan saja, oleh Pemerintah Republik telah diputus untuk mendapatkan jalan
meniadakan Unie itu selekas-lekasnya! Makin lekas makin baik! Dan tentang
tuntutan kita mengenai Irian Barat itu, dengan tegas kita menyatakan, bahwa
Irian Barat tetap, – ya tetap! -, menjadi tuntutan-Nasional. Dan dengan tegas
pula saya tetap berkata: Hai bangsa Indonesia, jangan didinginkan hatimu
mengenai Irian Barat ini, jangan bosan menuntutnya, jangan berhenti berjoang –
berjoang! – berjoang! sekali lagi berjoang! – menuntutnya, yangan lupa kepada sumpah
kita “Dari Sabang sampai ke Merauke”!
Ada
orang-orang yang menyebutkan saya ini “peribut soal Irian”. Wahai, sebutan itu
saya tulis dengan aksara emas di dalam saya punya dada. Berpuluh-puluh tahun
saya berjoang untuk tanah-air, mengabdi tanah-air, cinta tanah-air, katakan
gila tanah-air, keranjingan tanah-air, maka sebutan “peribut soal Irian” itu
saya terima sebagai sebutan-kehormatan yang saya hargai setinggi-tingginya.
Jikalau sejarah nanti mencatat, bahwa saya selalu memukul canang Indonesia mengenai
Irian Barat, jikalau di hari-kemudian nanti anak-anak di kampung-kampung dan di
desa-desa berkata: Bung Karno selalu meniupkan terompet tentang Irian Barat
atas nama rakyat dengan sehebat-hebatnya, maka saya, atau arwah saya, akan
berkata: Ya Allah ya Tuhan, segala hal datang daripada-Mu!
Saudara-saudara!
Kejadian lain dalam tahun yang lalu yang saya harus ceriterakan di sini ialah
penggantian Kabinet Natsir. Bersendi kepada demokrasi yang terpaku dalam
Undang- undang Dasar kita, maka kita tidak harus heran bahwa Kabinet Natsir
meletakkan portefolionya tatkala terbukti bahwa keadaan di dalam parlemen telah
mendorongnya untuk berbuat begitu. Tetapi alangkah lamanya proses membentuk
kabinet baru! Tanggal 21 Maret 1951 Kabinet Natsir demisioner, dan baru tanggal
27 April, dus lima minggu kemudian, Kabinet Sukiman dapat dibentuk.
Dalam
waktu lima minggu itu banyak sekali pekerjaan tertunda. Pada 27 April, bukan
satu-dua, tetapi tidak kurang dari 27 Undang-undang Darurat menanti
perbincangan dalam parlemen; dan 11 rencana Undang-undang lainpun menunggu
peninjauan. Dan semua rencana-rencana itu barulah bisa dimasukkan ke parlemen
lagi sesudah semuanya ditinjau-kembali oleh kabinet baru. Alangkah besarnya
kerugian waktu! Ya, memang tiap-tiap kabinet-crisis menghambat jalannya
pembaharuan perundang-undangan. Jika saya mengkonstatir hal ini, itu tidak
berarti bahwa saya tidak mengakui sehatnya faham-dan-praktek, bahwa sesuatu
kabinet hanya dapat bekerja dengan persetujuan parlemen. Hanya saja saya
bermaksud memberi peringatan buat masa depan, supaya kita jangan terlalu mudah
“main krisis”. Terutama sekali dalam masa genting seperti sekarang ini saya
tirukan peringatan Lincoln bahwa “tidak baik berganti kuda kalau kita sedang
menyeberangi sungai”.
Bangsa
kita baiklah jangan bersikap seperti bangsa Perancis! Tahukah saudara-saudara,
berapa menteri sudah kita alami sejak Proklamasi 1945? Dari 17 Agustus 1945
sampai 17 Agustus sekarang ini, jumlah orang yang sedang atau pernah menjabat
menteri dalam Republik atau dalam R.I.S. adalah tidak kurang dari 121 orang,
dan jumlah portefolio yang dipegang oleh 121 orang itu tidak kurang dari 269
buah! Pada hakekatnya, ini disebabkan oleh kurang riilnya persatuan di kalangan
kita. Berpuluh-puluh tahun sudah, kita bisa mendengungkan perkataan
“persatuan”, tetapi ternyata kita belum bisa mengamalkan persatuan.
Lihat!
17 Agustus tahun yang lalu kita membangunkan kembali Negara Kesatuan. Tetapi
saya bertanya: Buat apa Negara Kesatuan, kalau tidak berwujud juga Persatuan?
Perobahan bentuk negara, dari negara-federasi ke negara-kesatuan itu,
sebenarnya berarti membuka pintu – sekadar membuka pintu! – untuk menyusun
pemerintahan yang seefisien-efisiennya, dan menyalurkan perasaan-perasaan
massal yang anti federasi itu ke arah kegiatan yang bersifat membina dan
membangun. Tetapi apa yang kita lihat? Pintu yang terbuka itu tidak kita
masuki! Maka kita mengalami dalam tahun yang lalu itu, bahwa pembangunan Negara
kita ini tidak dapat tercapai dengan sekadar perobahan susunan dan bentuk
negara saja, tetapi bahwa di samping perobahan dari federasi kepeda Kesatuan
itu masih perlu adanya jiwa-dan-amal Persatuan dan jiwa-dan-amal Bekerja!
Saudara-saudara
pemimpin partai-partai politik! Negara kita didasarkan atas faham demokrasi.
Keinginan rakyat menentukan susunan Pemerintah dan kebijaksanaan Pemerintah.
Hal ini didasarkan atas kepercayaan dan pengharapan, bahwa dengan jalan begini
Negara kita akan memperoleh pemerintahan yang sebaik-baiknya. Partai-partai
politik, – lebih tegas: pemimpin-pemimpin partai-partai politik -, mempunyai
tanggungjawab untuk membuktikan, bahwa kepercayaan dan pengharapan ini adalah
benar. Kemampuan, kebijaksanaan, dan terutama sekali rasa tanggung-jawab dari
pimpinan partai-partai politik akan menentukan hari-kemudian dari demokrasi di
negeri kita ini. Demokrasi bukanlah satu doel. Demokrasi hanyalah satu dasar
untuk mencapai sesuatu tujuan, yakni Pemerintahan yang sebaik-baiknya di suatu
Negara, yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan rakyat. Demokrasi hanya
akan dapat dipertahankan, apabila pemimpin-pemimpin-penganut-demokrasi itu
dapat membuktikan, bahwa mereka dapat memberikan kepada Negara suatu
pemerintahan yang sebaik-baiknya, yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan
rakyat. Camkanlah hal ini, saudara-saudara, sedalam-dalamnya!
Saudara-saudara
bangsaku! Apa yang saya bentangkan tadi itu, buat sebagian besar mengenai
sejarah perjalanan kita dalam tahun-tahun yang lampau. Sejarah itu
memperlihatkan, bahwa sebagian dari cita-cita-politik kita telah terlaksana,
telah tercapai. Indonesia (kecuali Irian Barat) telah bersatu dalam
kekuasaannya satu Negara Kesatuan yang merdeka dan berdaulat. Karena berdaulat,
ia telah menjadi anggauta dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena berdaulat, ia
telah diakui oleh seluruh dunia; telah mempunyai Kedutaan Besar di Den Haag,
Washington, New Delhi, Manila, Karachi, Paris, London, Rangoon, Canberra, serta
wakil-wakil yang berpangkat duta-besar di Lake Success dan di Tokyo; telah
mempunyai kedutaan di Cairo, Saudi Arabia, Yaman, Roma, Bagdad, Kabul,
Stockholm, Oslo, Kopenhagen, Teheran, Brussel dan Lisabon; telah mengadakan
perjanjian dagang dengan Australia, India, Jepang, Polandia, Cekoslovakia,
Hongaria, Finlandia, Swedia, Jerman-Barat, Norwegia, Austria, Perancis, Swiss,
Belanda, Denmark dan Italia; telah turut-serta: sejak Januari 1950 dalam 25
konferensi internasional.
Dan
selain daripada kenyataan kedaulatan ke luar itu, dapatlah dinyatakan, bahwa,
kalau kita melihat ke dalam, transisi (perpindahan) pemerintahan ke arah
pemerintahan nasional telah berlangsung pula: semua alat-alat pemerintahan kini
bersifat Indonesia semata-mata, semua pimpinan-yang-menentukan kini telah
berada di tangan orang-orang Indonesia. Sudah barang tentu perjoangan di
lapangan kenegaraan dan di lapangan pemerintahan masih harus dilanjutkan. Sebab
perjoangan itu memang belum selesai. Siapa berani mengatakan bahwa perjoangan
kita telah selesai? Irian Barat masih dikuasai orang! Unie Indonesia-Belanda
masih belum lenyap! Konstituante masih belum terbentuk! Pemerintahan daerah
masih belum seperti mestinya! Tetapi walaupun demikian, dapatlah kita pada saat
Ulangan Ucapan Proklamasi sekarang ini dengan bangga mengatakan – kecuali
jikalau kita memang orang-orang yang berpahit-hati, atau orang-orang yang tidak
tahu menghargai rakhmatnya Tuhan -, bahwa babak-babak-permulaan daripada tujuan
bangsa kita telah tercapai.
Maka
patutlah kita bersujud menyatakan terima kasih kita kepada Tuhan atas hal ini,
dan memohonkan pula kepada-Nya kekuatan sebanyak-banyaknya, dan pimpinan untuk
melanjutkan perjoangan kita itu, yang telah bertahun-tahun kita setia jalankan,
tetapi yang sekarang belum selesai. Bukankah, bukan saja di lapangan kenegaraan
dan di lapangan pemerintahan perjoangan kita masih harus diteruskan sebagai
saya katakan tadi, tetapi juga tujuan kesejahteraan rakyat masih harus dikejar?
Memang,
sambil melakukan transisi pemerintahan yang sebagian besar kini telah selesai
itu, sambil menyempurnakan alat-alat politik daripada perjoangan kita itu, maka
kabinet berturut-turut telah berusaha sedapat-dapatnya ke arah kesejahteraan
rakyat yang kita cita-citakan itu. Tetapi, sebagaimana dalam hal kenegaraan dan
pemerintahan dijumpai kesulitan-kesulitan, rintangan-rintangan,
hambatan-hambatan, maka kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan seribu-satu
pun juga dan terutama dijumpai di atas jalan ke arah meletakkan
kesejahteraan-baru bagi rakyat. Malah jalan ke arah kesejahteraan itu buat
sebagian besar harus melalui dulu kesulitan melenyapkan akibat-akibat dari
perjoangan kita yang telah lampau, harus menerobos dulu bahkan harus menebas
dulu rimba akibat-akibat-buruk daripada perjoangan kita yang telah lampau, –
bukan saja akibat-akibat yang berupa kerusakan materiil, tetapi juga
akibat-akibat yang berupa kerusakan mental dan kerusakan moril! Dan kita tahu:
memperbaiki kerusakan-kerusakan mental dan kerusakan-kerusakan moril adalah
lebih sukar daripada memperbaiki kerusakan-kerusakan materiil!
Tiap-tiap
peperangan, di manapun, di Barat atau di Timur, kapanpun, di zaman dulu atau di
zaman sekarang, selalu meninggalkan kesulitan-kesulitan yang besar yang harus
dipecahkan, sebelum negeri dan rakyat dapat hidup kembali seperti dalam zaman
yang normal. Tidak saja tiap peperangan menimbulkan keadaan ekonomi yang sulit,
dan penghancuran harta-benda-kekayaan yang berharga, tetapi tiap peperangan
juga meninggalkan krisis akhlak dan turunnya nilai alat-alat-negara di mata
rakyat. Padahal perjoangan kita yang lampau itu sebenarnya lebih dari satu
peperangan! Perjoangan kita yang lampau itu adalah satu perjoangan, di mana
rakyat seluruhnya diajak turut-serta menghancurkan musuh, dan malahan di mana
perlu, menghancurkan harta-benda milik Negara sendiri dan harta-benda milik
diri sendiri, – menghancurkan rumah sendiri, desa sendiri, gedung-gedung-Negara
sendiri, alat-alat-perhubungan Negara sendiri – satu perjoangan total dengan
mempraktekkan bumi-hangus yang total. Maka dengan sendirinya
kesulitan-kesulitan yang kita alami sekarang ini adalah lebih besar daripada kesulitan-kesulitan
yang umumnya timbul sesudah peperangan yang biasa.
Maka
oleh karena itulah dengan sendirinya pula pekerjaan kita belum dapat ditujukan
seratus persen langsung kepada pelaksanaan tujuan kesejahteraan rakyat sebagai
yang kita cita-citakan. Lebih-lebih lagi keadaan keuangan kita yang amat
cingkrang, dan tenaga-bekerja yang sangat kurang, memerlukanlah pula kita
bertindak setapak-demi-setapak, – tak mungkin kita bertindak
sekali-tindak-sekali-jadi.
Berhubung
dengan itu semuanya, maka harap dimengertikan oleh kita sekalian, bahwa antara
terwujudkannya kemerdekaan-politik dan terbangun-kannya kesejahteraan rakyat
adalah dus diperlukan waktu, – waktu, yang panjang-pendeknya tergantung, selain
daripada kecakapan dan kegiatan pemerintah; juga tergantung kepada kegiatan
rakyat sendiri.
Bangsa
Indonesia! Perjoangan tempo-hari kita jalankan untuk memperoleh kemerdekaan
kita seluruhnya; untuk kamu, untuk kita; oleh sebab itu, adalah menjadi
kewajiban kita seluruhnya untuk bersama-sama memikul beban-beban yang
ditinggalkan oleh zaman perjoangan itu. Kenapa ada golongan-golongan di antara
kita yang mencoba membebas-kan dirinya dari kewajiban ini, atau yang pada waktu
ini selagi negara dan bangsa kita belum sembuh mengatasi akibat-akibat perjoangan
yang lampau itu, hanya berusaha untuk menarik keuntungan yang sebesar-besarnja
saja dari keadaan yang sulit itu? Kenapa ada golongan-golongan di antara kita,
yang justru sejak saat kita memegang pemerintahan dalam tangan kita sendiri,
selalu menghambat kegiatan-pemerintah dan kegiatan-rakyat dengan faktor
penghambat istimewa, yaitu pengacauan? Sepanjang pengacauan ini dilakukan
karena bejatnya jiwa kriminil yang biasa, atau karena pertimbangan
ekonomi-perseorangan, – pertimbangan yang bejat pula! -, maka dapatlah kita
melihatnya sebagai salah satu daripada akibat-akibat-obyektif daripada
perjoangan kita yang lampau, sebagai yang saya maksudkan tadi. Tetapi sebagian
lagi dari pengacauan-pengacauan itu bersumber kepada kemauan-subyektif-untuk
mengacau dari golongan-golongan politik tertentu, yang memang ditujukan kepada
tujuan politik pula, baik tujuan politik yang berpusat kepada faham revolusi
sosial, maupun tujuan politik yang berpusat kepada faham revolusi agama.
Terhadap
kepada golongan-golongan yang biasanya disebut “gerombolan-gerombolan
bersenjata”, (berideologi atau tidak ber-ideologi, berideologi “kiri” atau
berideologi “kanan”, berideologi “merah” atau berideologi “hijau”), Pemerintah
menjatakan dengan tegas: terhadap mereka harus diambil tindakan tegas! Apa
boleh buat, kalau bangsa sendiri mengganggu keamanan, kalau bangsa sendiri
membahayakan Negara, kalau bangsa sendiri mau mengadakan “Staat in den Staat”,
maka kepada bangsa sendiri itu harus diambil tindakan tegas, harus diambil
tindakan keras, tidak ferduli ia berideologi atau tidak berideologi, tidak
ferduli ia berideologi merah, tidak ferduli ia berideologi hijau!
Alat-alat-kekuasaan sipil dan Angkatan Perang harus bertindak, dan segenap
rakyatpun harus membantu tindakan ini.
Mengertilah,
saudara-saudara, posisi Angkatan Perang dalam usaha mengembalikan keamanan itu!
Sering terdapat salah faham mengenai kedudukan Angkatan Perang berhubung dengan
soal membanteras pengganggu-pengganggu keamanan ini, yakni seolah-olah Angkatan
Perang menghendaki kekuasaan-kekuasaan dan tugas-tugas yang luar-biasa. Salah
benar faham yang demikian itu! Angkatan Perang hanya mempunyai satu kehendak
saja berhubung dengan soal keamanan ini, yakni agar supaya secepat mungkin
dapat tercipta satu keadaan keamanan, sehingga ia dapat dibebaskan dari
tugas-tugas dan kekuasaan-kekuasaan luar-biasa yang sampai sekarang diletakkan
di atas bahunya. Angkatan Perang kita dirikan hanya sebagai alat untuk
mempertahankan Proklamasi kita terhadap serangan-serangan yang hendak meniadakan
Proklamasi kita itu, dan tidak untuk menjaga keamanan-dalam-negeri dalam arti
yang biasa.
Oleh
karena itu saya mengajak Angkatan Perang, Polisi, Pamong Praja, dan Rakyat
seluruhnya, ya Rakyat seluruhnya, untuk bersama-sama mengakhiri
gangguan-gangguan terhadap keamanan ini, sehingga tugas dan kekuasaan
luar-biasa yang sekarang diserahkan kepada Angkatan Perang itu, dapat segera
diakhiri pula.
Ya,
saudara-saudara bangsa Indonesia seluruhnya!, marilah kita jaga nama kita,
terhadap kita sendiri, dan terhadap luar negeri. Marilah kita semua, tua-muda,
di kota-kota, di kampung-kampung, di desa-desa, menghabisi keadaan tiada
keamanan ini. Puluhan tahun kita berjoang, lima tahun kita mempersembahkan
darah dan jiwa kita ke atas persada Ibu Pratiwi, lima tahun kita berkorban,
berkorban, menderita, menderita – wahai, beginikah hasil korbanan dan
penderitaan kita itu? Dengarkanlah ratap-tangis bapa tani meminta keamanan,
ratap-tangis orang-kecil meminta ketenteraman. Janganlah sekarang nama kita
menjadi cemar di pandangan orang lain. Janganlah ada orang lain dapat berkata:
Inikah bangsa Indonesia, yang tak dapat mengadakan keamanan di dalam rumahnya
sendiri? Nenek moyang kita mempunyai pesanan-keramat yang berbunyi:
tata-tenteram-kerta-raharja”, tetapi di manakah keraharjaan kita sekarang? Di
manakah ketata-tenteraman kita sekarang, pesanan pepunden kita, yang barangkali
tidak mabok ide, tetapi nyata jujur, suci, tulus, ikhlas itu?
Kepada
pemuda terutama sekali saya berkata: Engkau hidup dalam zaman segenap bangsa
kita mencari hidup. Engkau menyaksikan perkosaan-perkosaan di satu fihak, dan
penderitaan-penderitaan karena perkosaan itu di lain fihak. Engkau berjalan di
antara rentetan kebuasan-kebuasan dan genangan-genangan air-mata dan darah
akibat kebuasan itu. Engkau melihat pembunuhan-pembunuhan, pencurian-pencurian,
perampokan-perampokan, tiap-tiap hari terjadi di muka pintu rumahmu sendiri.
Ada orang-orang berkata, itu semua ialah untuk terlaksananya sesuatu “ide”.
Tetapi semua itu bukan sekadar soal “ide”. Semua itu mengenai soal tinggi atau
rendahnya nilai manusia, – mengenai soal “baik” atau “jahat”. Dan engkau,
pemuda, engkau di hadapan soal “baik” atau “jahat” itu dapat tinggal-diam saja?
Siapa tinggal-diam di hadapan semua hal-hal semacam itu, sebenarnya telah
mendegradir dirinya-sendiri secara moril!
“Ide”!
Ya memang sebagian dari bangsa kita sekarang ini sedang tergendam oleh sesuatu
ide. Bukan oleh Ide Pancasila sebagai terletak di dalam Undang-Undang Dasar
Negara kita, tetapi Ide di luar Pancasila itu. Ada yang merah, dan ada yang
hijau. Dan lihatlah akibatnya! Di mana-mana bangsa kita jiwanya kabur dan
bingung seperti tiada pedoman. Di mana-mana bangsa kita terpecah-belah. Di
mana-mana bangsa kita dengki-mendengki satu sama lain. Di mana-mana bangsa kita
boleh disepertikan orang yang merobek-robek dadanya sendiri. Di mana-mana
pertumpahan darah. Di mana-mana harta-milik tidak aman lagi. Di mana-mana
merosot arbeids-productiviteit. Di mana-mana suburlah pertikaian-pertikaian
yang dibikin-bikin. Di mana-mana dilupakan, bahwa nama Indonesia harus
dijunjung tinggi.
O, pada
hari seperti sekarang ini, yang sebentar lagi kita akan melihat lagi Bendera
Pusaka Revolusi, Revolusi yang demikian sucinya dan demikian jujur-ikhlasnya
kita mulai, pada hari seperti sekarang ini segenap jiwaku ingat lagi kepada
harganya Pancasila sebagai Sila pemersatukan Bangsa, sebagai Sila pemersatukan
Negara, Sila pemusatkan bakti kita kepada Ibu Pratiwi, – Sila pemurnikan bakti
kita kepada Ibu Pratiwi. Pada hari seperti sekarang ini, lebih mendalamlah ke
dalam jiwa-sukmaku, bahwa ideologi Pancasila seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar kita itu, yang telah kita bela mati-matian sekian tahun
lamanya itu, adalah haram untuk ditinggalkan di tengah jalan untuk ditukar dengan
ideologi-ideologi yang lain. Karena itu, sedarilah benar-benar apa arti
Pancasila bagi Negara dan bagi Bangsa kita, dan kembalilah benar-benar kepada
Pancasila itu, siapa yang pernah meninggalkannya!
Marilah
dengan jiwa-bakti yang suci kepada Ibu Pratiwi dan dengan pengertian-pengertian
yang riil, melaksanakan dengan rajin segala tujuan-tujuan bangsa kita yang kini
belum tercapai, masing-masing di tempat-tugasnya sendiri-sendiri dan dengan
kesungguhan-hati yang meluhurkan nilai pribadi. Pelaksanaan itu, sebagai tadi
saya katakan, hanya dapat berjalan bertingkat-tingkat, dan cepat-lambatnya
samasekali tergantunglah dari banyak-sedikitnya keringat yang kita berikan.
Dalam
garis besarnya, maka jalan untuk mencapai tujuan bangsa sebagai tertera dalam
Undang-Undang Dasar kita itu hanyalah satu. Oleh karena itulah, maka tidak
mengherankan, apabila kabinet-kabinet berturut-turut, asal memang tidak sengaja
ingin menoleh ke jurusan lain, menghadapi problem-problem yang sama di atas
jalan yang dilalui itu. Hanya cara menghadapi problem-problem itu, dan cara
mana-yang-didulukan dan mana-yang-dibelakangkan dari problem-problem itu, boleh
jadi berlainan satu sama lain.
Saudara-saudara!
Pada
hari peringatan ini, tidak akan saya bentangkan apakah yang telah atau sedang
dilakukan oleh Kementerian-kementerian Republik masing-masing, dan apakah yang
ada pada rencana-pekerjaannya untuk hari-hari yang akan datang. Uraian yang
demikian itu adalah terlalu tekhnis untuk diberikan di muka rapat-ramai ini.
Tetapi Pemerintah sedikit hari lagi akan menerbitkan uraian-uraian itu dalam
satu “publikasi 17 Agustus”, dan saya kira penerbitan itu akan memberi
pengertian sekadarnya atas apa yang dikerjakan sekarang di kalangan
pemerintahan Negara.
Cukuplah
sekarang ini saya memperingatkan sifat-umum daripada pekerjaan kita itu sebagai
pelanjutan perjoangan. Janganlah bandingkan Negara kita sekarang ini dengan
negara-negara yang telah lama berdiri. Janganlah bandingkan dengan
negara-negara yang telah berjalan licin-seksama menurut garis-garis yang
ditentukan oleh masing-masing Undang-undang Dasarnya. Indonesia baru
di-proklamirkan enam tahun, baru berdiri lagi tegak satu-setengah tahun, – di
Indonesia keadaan-keadaan seperti di negara-negara lain itu masih harus
dicapai.
Likwidasi
koloni, likwidasi imperialisme-politik telah selesai, – itupun kecuali di
Irian! -, tetapi transisi atau perpindahan ke arah kemakmuran rakyat dan
keadilan sosial baru saja dimulai. Saudara-saudara malahan mengetahui, bahwa
ditentang hal “kemakmuran” dan “keadilan sosial” ini cita-cita kita bukan
cita-cita yang kecil. Manakala revolusi Perancis, misalnya, adalah revolusi
untuk membuka pintu buat kapitalisme dan imperialisme, maka Revolusi kita
adalah justru untuk menyudahi kapitalisme dan imperialisme. Tetapi sebagai
sudah puluhan, ratusan kali saya katakan: Revolusi bukan sekadar satu
kejadian-sehari, bukan sekadar satu evenement; revolusi adalah satu proses,
satu proses destruktif dan konstruktif yang gegap-gempitanya kadang-kadang
memakan waktu puluhan tahun. Proses destruktif kita, boleh dikatakan sudah
selesai, proses konstruktif kita, sekarang baru mulai. Dan ketahuilah, proses
konstruktif – memakai banyak waktu dan banyak pekerjaan.
Ya,
banyak pekerjaan! Banyak pemerasan tenaga dan pembantingan tulang! Banyak
keringat! Adakah di dalam sejarah tercatat sesuatu bangsa dapat menjadi bangsa
yang besar dan makmur zonder banyak mencucurkan keringat?
Tempo-hari
saya membaca tulisannya seorang bangsa asing yang mengatakan bahwa “mempelajari
sejarah adalah tiada-guna”. “History is bunk”, demikian katanja. Tetapi
saya berkata: justru dari mentelaah sejarah itulah kita dapat menemukan
beberapa hukum-hukum-pasti yang menguasai kehidupannya bangsa-bangsa.
Salah-satu daripada hukum-hukum itu ialah, bahwa tidak ada kebesaran dan
kemakmuran yang jatuh begitu-saja dari langit. Hanya bangsa yang mau bekerjalah
menjadi bangsa yang makmur. Hukum ini berlaku buat segala zaman, buat segala
tempat, buat segala warna-kulit, buat segala agama atau ideologi. Ideologi yang
mengatakan bahwa bisa datang kemakmuran zonder kerja, adalah ideologi yang
bohong!
Hai
bangsa Indonesia, jangan jadi satu bangsa yang segan akan kerja. Jangan jadi
satu bangsa yang hanya mau senang-senang saja. Jangan mengira bahwa sesuatu
bangsa bisa menjadi bangsa yang muda, hanya karena ia mencintai kesenangan
saja. “Een volk wordt niet verjongd doordat men het de aanbidding van het
genot leert”, demikianlah ujar Mazzini, pemimpin-nasional Italia. Sungguh
camkanlah sekali lagi hukum-pasti dari sejarah itu: tiada kesenangan zonder
kerja, tiada kemakmuran zonder keringat.
Perjoangan
membangun, – dan bukan membangun kecil-kecilan, tetapi membangun besar-besaran
buat rakyat yang 75.000.000! -, perjoangan membangun itu hanya dapat dijalankan
dengan sempurna, apabila segenap tenaga rakyat seluruhnya ditujukan kepadanya.
Adakanlah koordinasi, adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara
kepentingan-sendiri dan kepentingan-umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu
dimenangkan di atas kepentingan-umum! Kepentingan perseorangan akhirnya tidak
bisa terjamin kalau kepentingan umum tidak terjamin. Kepentingan umum meliputi
pula kepentingan perseorangan, akan tetapi kepentingan perseorangan belum
berarti kepentingan umum, bahkan mungkin bertentangan dengan kepentingan umum.
Saudara-saudara,
hari ini adalah hari Ulangan Ucapan Proklamasi. Kita-semua merasa bangga atas
semangat kita pada 17 Agustus 1945. Kita-semua malahan berkata, ingin kembali
kepada semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tetapi
bagaimanakah semangat 17 Agustus 1945 itu? Semangat 17 Agustus 1945 adalah
semangat keikhlasan. Semangat pengorbanan. Semangat persatuan. Semangat
Pancasila. Semangat pembangunan, membangun Negara dan Masyarakat dari
ketiadaan. Pada 17 Agustus 1945 itu kita sungguh tidak mempunyai apa-apa,
melainkan rancangan Undang-Undang Dasar, lagu Indonesia Raya, Bendera Merah
Putih, secarik kertas Proklamasi. Tetapi pada waktu itu hidup dalam kalbu kita,
hidup betul-betul suci-murni dalam kalbu kita -, semangat Pancasila!
Karena
itulah kita pada waktu itu ikhlas. Karena itulah kita pada waktu itu bersatu,
dan tidak dengki-mendengki seperti sekarang. Karena itulah kita pada waktu itu
sedia-berkorban. Karena itulah kita pada waktu itu berani mengadakan
Proklamasi, meski sebagai tadi telah saya katakan, kita telah mengetahui bahwa
akan mendarat di Indonesia meriam dan mortir, tank dan mobil-berlapis-baja;
akan menderu-deru di angkasa kita pesawat pengintai, pesawat pemburu dan
pesawat pengebom; akan hujan di atas kepala-kita ini hujan peluru dan hujan
dinamit, – hujan api yang hendak membakar membinasakan kita samasekali. Dan
karena semangat yang demikian suci-murninya itulah, – dari ketiadaan – itu
telah dapat kita bangunkan permulaannya organisasi Negara. Karena semangat yang
demikian itulah, maka respect dunia dilimpahkan kepada kita. Karena semangat
yang demikian itulah, nama Indonesia disebutkan orang di seluruh dunia, dengan
hormat dan kagum.
Sekarang
enam tahun telah lewat. Dengan melangkahi banyak rintangan-rintangan dan
kesulitan-kesulitan, Negara telah berdiri. Tetapi karena perbuatan-perbuatan
kita di waktu yang akhir-akhir ini, respect dunia kepada kita mulai turun. Nama
Indonesia disebut-sebut orang lagi, tetapi – disebut dengan cara yang lain
daripada beberapa tahun yang lalu. Saya khawatir, kalau kita tidak lekas
mengkoreksi kita punya jiwa, kalau kita tidak lekas mengkoreksi kita punya
perbuatan-perbuatan, – nauzubillah min zalik, respect dunia terhadap
kita akan hilang samasekali.
Perkataan-perkataanku
ini pedas. Tetapi di dalam renungan-renungan di waktu malam, di waktu aku duduk
seorang diri, – di dalam renungan-renungan merenungkan tanggungjawabku terhadap
kepada Negara, kepada rakyat, kepada tanah-air, kepada Tuhan, aku sampailah
kepada konklusi bahwa aku harus bicara kepadamu terang-terangan.
Lebih
dari tigapuluh tahun aku aktif mengabdi Tanah-Air. Entah berapa lama lagi aku
diperbolehkan Tuhan mengabdi Tanah-Air. Tetapi justru karena itu, aku makin
merasakan tanggungjawabku terhadap pada Tuhan dan Tanah-Air!
Camkanlah,
saudara-saudara!
Dan
terimalah salamku.
MERDEKA!
ANALISIS
PIDATO
Pidato
Bung Karno tersebut sangat bermakna. Penuh dengan rasa semangat, agar kita
sadar akan hal itu. Dengan semangat juang yang tinggi, kebersamaan yang kuat,
kita bisa merebut negara tercinta ini dari penjajah. Bung Karno menegaskan bahwa “Semangat 17
Agustus 1945 adalah semangat keikhlasan. Semangat pengorbanan. Semangat
persatuan. Semangat Pancasila.” Dan
Semangat itu ibarat oksigen, tak bisa dilihat tapi bisa dirasakan dan
mampu menghidupkan motivasi yang tak pernah padam. Satu kata, tetapi mempunyai
sejuta makna yang luar biasa.
Pertama,
Semangat Keikhlasan adalah apapun yang kita perbuat hanya untuk mencari
ridho-Nya semata. Dari keikhlasan yang kita perbuat, dapat mendorong orang lain
berbuat yang demikian juga. Jika kita mengalami kegagalkan, jangan menyerah, karena
kegagalanlah yang akan membesarkan hati kita untuk bisa melangkah kesuksesan
selanjutnya. Lakukan pengorbangan yang tiada henti, tanpa memikirkan
akan jadi apa nantinya. Yang terpenting usaha dan do’a yang kuat.
Kedua,
Semangat Pengorbanan adalah dimana kita rela mengorbankan jiwa raga demi negara
ini, demi kebersamaan kita dalam bernegara. Perngorbanan membela hak-hak kita
yang dirampas oleh bangsa lain. Demi masa depan bangsa Indonesia, apapun
dilakukan hingga titik darah penghabisan. Banyak pahlawan yang tak bisa
dihitung olah jari telah membela tanah air ini. Mereka berjuang bersama-sama.
Mengumpulkan strategi dan kekuatan untuk tetap menang.
Ketiga,
Semangat Persatuan adalah untuk mengikatkan tali silaturahmi kita. Jangan
sampai tepecah belah, saling membantu, tak ada strata dalam hal tersebut. Kita
bersatu dalam memperjuangkan cita-cita. Sebelum itu, dalam suatu memperjuangan
cita-cita juga harus terukur, terencana, terprogram, dan sabar serta
memiliki pemahaman yang utuh. Eratkanlah tangan hingga akhir hayat nanti.
Teruslah menjadi bagian dari Indonesia yang melanggengkan persatuan walaupun
dunia telah modern.
Keempat,
Semangat Pancasila sebenarnya telah diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Pancasila terdiri dari lima
sila, yang masing-masing ada nilai-nilainya sendiri. Sehingga, jika nilai-nilai
pancasila itu berkurang, berkurang pula kualitas kehidupan Indonesia. Tak jarang kita melihat berita di televisi
tentang tawuran remaja, korupsi, dan pembunuhan karena hal sepele. Apakah itu
termasuk semangat kita dalam mewujudkan sila-sila pancasila? Tidak. Hal itu
bertentangan dengan pancasila. Sekarang ini, banyak penyimpangan yang sangat
bertolak belakang dengan pancasila. Kesadaran akan nilai-nilai pancasila mulai
luntur.
Oleh
karena itu, Bung Karno menegaskan pentingnya koordinasi antar anggota
masyarakat. Sehingga tercipta keadaan yang harmonis. Kenyamanan ada dalam diri
masing-masing karena kita mengutamakan keharmonisan masyarakat. Dan yang
terpenting adalah kesadaran yang muncul pada individu tanpa ada yang
mengingatkan.
Popular Post
-
Taman Siswa P erguruanku Hiduplahmu S emerdekanya Taman Siswa J antung H atiku Bersinarlah S emulianya Dari Barat S ampai ke Ti...
-
Entah kenapa nemu tulisan ini di catatan gue pas jaman-jaman MTs. Sumpeh ini galao abis. Entah kapan pula gue nulis beginian. Nggak tau pula...
-
Tirakatan adalah tradisi unik yang khas ditemui di Jawa dan Bali. Tradisi ini tidak ada kaitannya dengan suatu paham religiusitas tertentu ...